Sabtu, 12 Maret 2011

kliping Wawasan Nusantara

Sejumlah pengrajin sambuk, sarung terbuat dari kain tenun khas Kabupaten Mamasa. Kain tenun ini adalah kerajinan tangan dari Kecamatan Simbuang.


" RENGAS DENGLOK REVOLUSI YANG TERSISI DARI INGATAN KOLEKTIF "
Setiap menjelang Hari Kemerdekaan 17 Agustus, Rengasdengklok, kota kecamatan yang terletak 23 kilometer utara kota Kabupaten Karawang, Jawa Barat, terus dimunculkan ke dalam ingatan kolektif bangsa.
Sehari sebelum proklamasi dikumandangkan, 16 Agustus 1945, pemuda dan PembelaTanah Air (Peta) membawa Bung Karno (Soekarno) dan Bung Hatta (Mohammad Hatta) beserta Ny Fatmawati dan Guntur Soekarnoputra ke Rengasdengklok. Mereka mendesak kedua pemimpin itu agar segera memproklamasikan kemerdekaan RI karena Jepang sudah menyerah kepada Sekutu. Seperti ditulis Her Suganda dalam buku Rengasdengklok, Revolusi dan Peristiwa 16 Agustus 1945, di kota kecil ini pada 16 Agustus 1945 terjadi dua peristiwa penting. Pertama, keberadaan Bung Karno, Bung Hatta, dan Ny Fatmawati disertai Guntur Soekarnoputra di tempat itu.
Kedua, perebutan kekuasaan oleh masyarakat Rengasdengklok. Atas peran tokoh pemuda dan Peta pula, bendera Merah Putih dikibarkan mengganti bendera Jepang, Hinomaru, yang sebelumnya berkibar di halaman Kewedanaan Rengasdengklok pada hari yang sama. Soncho (camat) Rengasdengklokketika itu, Soejono Hadipranoto, memimpin upacara, diikuti pernyataan kemerdekaan RI.
Kompas/Mukhamad Kurniawan (MKN)
Tugu Kebulatan Tekad di Desa Rengasdengklok Selatan, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat.
Pedagang, petani, pegawai, pejabat, dan warga sipil lain di Rengasdengklok terlibat dalam aksi heroik tersebut. Proklamasi boleh jadi dikumandangkan di Jakarta, tetapi aksi Rengasdengklok menginspirasi karena lebih dulu menyatakannya.
Sejarawan Asvi Warman Adam, dalam pengantarnya di buku itu, menyebut Peristiwa Rengasdengklok membuktikan bahwa kemerdekaan Indonesia bukanlah hadiah dan menurut tata cara yang diatur Jepang.
Peristiwa Rengasdengklok memang menginspirasi kebulatan tekad bangsa Indonesia. Oleh karena itu, untuk mengenang peristiwa dan menggelorakan semangat juang pemuda, Pemerintah Provinsi Jawa Barat mewacanakan pembangunan Monumen Rengasdengklok. Wacana telah disampaikan sejak tahun 1990-an, yang kemudian ditindaklanjuti oleh PemerintahKabupaten Karawang dengan menyusun rencana pembangunan tahun 1996.
Namun, hingga hampir 15 tahun sejak direncanakan, monumen belum juga terwujud. Yang terbangun saat ini telah membentuk wajah monumen. Patung empat tangan karya Sidharta Soegijo (almarhum) menjulang setinggi 6 meter dengan lebar dasar 2,4 meter dan terlihat menonjol di kawasan itu.
Bangunan dirancang sebagai lambang empat kekuatan dari empat penjuru angin yang bersatu dan sedang mendobrak dari dalam tanah. Di situ telah terpasang altar ber-paving beton, bambu runcing raksasa, beberapa struktur beton persegi dengan ujung lancip mengelilingi tugu, dua bangunan menyerupai pendapa, serta dinding pagar monumen. Menurut rencana, di sekeliling altar itu diisi relief Peristiwa Rengasdengklok dan detik-detik Kemerdekaan RI 1945.
Hanya beberapa meter jauhnya dari lokasi Monumen Rengasdengklok, berdiri Tugu Kebulatan Tekad, yang dibangunsecara swadaya oleh masyarakat setempat tahun 1950.
Kompas/Mukhamad Kurniawan
Bekas jembatan kereta api jurusan Rengasdengklok-Karawang, yang dibangun Belanda dan beroperasi hingga tahun 1970-an, masih melintang di atas Saluran Induk Tarum Utara di Desa Kalangsuria, Kecamatan Rengasdengklok, Kabupaten Karawang, Jawa Barat, Senin (26/7). Warga memanfaatkannya sebagai penghubung utama antar kampung atau desa.
Wedana Rengasdengklok Sutadiredja dan Camat M Abdullah menggagas pembangunan tugu untuk memperingati Peristiwa Rengasdengklok dengan menggalang dana penjualan kartu pos dan sumbangan masyarakat. Biaya pembangunannya Rp 17.500 dan diresmikan oleh Hatta pada peringatan Hari Kemerdekaan Ke-5 RI. Tugu ini jauh lebih sederhana ketimbang Monumen Rengasdengklok. Bangunannya lantai berundak lima, badan tugu, dan puncak berupa kepalan tangan kiri.
Rumah milik Djiauw Kie Siong-tempat singgah Bung Karno dan Bung Hatta-masih berdiri, melengkapi Rengasdengklok sebagai sebuah situs sejarah. Bangunan berukuran 10 meter x 40 meter itu berjarak sekitar 100 meter dari sisi Sungai Citarum. Lokasi rumah asli sudah tergerus sungai pembatas alam Kabupaten Karawang dan Bekasi. Rumah kayu itu kini ditempati generasi ketiga keluarga Djiauw. Sebagian bangunannya terancam rusak dimakan usia.
Peninggalan lain yang tersisa adalah Gedong Jangkung, gedung tertinggi bekas salah satu markas tentara Belanda di Rengasdengklok. Gedung itu jadi sarang burung walet.
Sepenggal puisi berjudul Karawang Bekasi karya Chairil Anwar seolah mewakili harapan Arsim Kasman, Suherman, juga pelaku, saksi, dan pemerhati sejarah lain. Penggalan puisi itu tertulis di Monumen Suroto Kunto di daerah Warungbambu, Karawang Timur. Puisi yang sama tertera di sudut Monumen Perjuangan Rawagede di Balongsari, Rawamerta:
Kami yang kini terbaring antara Karawang Bekasi tidak bisa teriak "merdeka" dan angkat senjata lagi Tapi siapakah yang tidak lagi mendengar deru kami terbayang kami maju dan berdegup hati? Jika dada rasa hampa dan jam dinding yang berdetak kami mati muda, yang tinggal tulang diliputi debu Kenang kenanglah kami..



 "ALUK TADOLO KEPERCAYAAN KEPADA LELUHUR "
"Penganut Aluk Todolo relatif terbuka terhadap modernisasi dan dunia luar. Mereka meyakini, aturan yang dibuat leluhurnya akan memberikan rasa aman, mendamaikan, menyejahterakan, serta memberi kemakmuran warga," kata Musni Lampe, pengajar antropologi di Universitas Hasanuddin, Makassar.
Walau terbuka bagi agama luar, warga sepakat, yang telah menganut selain Aluk Todolo wajib keluar dari Dusun Kanan. Tentu saja mereka tetap boleh berkunjung ke sana, tapi tak dapat tinggal lama.
Di luar penganut Aluk Todolo, sekalipun bangsawan dan memiliki banyak uang, mereka tidak boleh dikuburkan dengan ritual pa'tomate, upacara penguburan jenazah khas dusun itu.
Penganut Aluk Todolo menjunjung tinggi kebenaran dan kejujuran. Mereka begitu tegas menerapkan aturan leluhur. Berani melanggar berarti bakal menyengsarakan warga dusun, misalnya mendatangkan petaka gagal panen. Semua kesalahan dan kecurangan berhadapan dengan hukum dan hal itu berlaku bagi semua, termasuk keluarga dekat, saudara jauh, atau pendatang.
Penegakan aturan itu begitu ketat dalam pelaksanaan pa'tomate. Selama berlangsungnya pa'tomate Uyung Kariwangan, generasi terakhir parenge (bangsawan) Pana asli Dusun Kanan, warga tidak boleh berhura-hura, seperti berjudi dan bermain kartu. Jika ketahuan, mereka harus membayar denda berupa babi atau uang senilai harga babi. Itu terjadi saat pa'tomate berlangsung baru-baru ini. Empat pria tertangkap tangan bermain kartu dan mereka diwajibkan membayar denda tujuh babi.
Selama jenazah belum dikuburkan, seluruh keluarga, warga dusun, dan pelaku ritual tidak boleh makan nasi beras sebagai tanda ikut berdukacita atas kepergian orang yang dikasihi. Mereka hanya boleh memakan nasi jagung. Mereka baru akan makan nasi beras lagi jika ritual pa'tomate berakhir, sehari seusai upacara penguburan.
KOMPAS/PINGKAN ELITA DUNDU
Sejumlah pengrajin sambuk, sarung terbuat dari kain tenun khas Kabupaten Mamasa. Kain tenun ini adalah kerajinan tangan dari Kecamatan Simbuang.
Aturan lainnya, selama prosesi pembungkusan jenazah, mereka yang tinggal di rumah almarhum tidak boleh memasak semua jenis sayuran. Jika dilanggar, jenazah akan membusuk dan baunya melekat.
Bahkan, selama proses itu berlangsung, tidak ada seorang pun yang boleh meludah di dekat jenazah. Jika melanggar, kekuatan mistik untuk mengawetkan jenazah guna mencegah busuk akan hilang. Mereka yang nekat melanggar akan sakit.
Setelah mayat dikuburkan, mereka yang mengikuti proses pemakaman ke liang lahad wajib kembali ke rumah duka sebelum pulang ke rumah masing-masing. Yang melanggar akan mendapat kecelakaan dalam perjalanan.
Untuk menghindari pelanggaran, berulang-ulang aturan itu diumumkan hingga sebelum jenazah diberangkatkan ke makam. Jika ada warga yang lupa dengan aturan tersebut, dia harus segera didoakan sesepuh pemimpin prosesi ritual.
Secara geografis, Dusun Kanan berada di ketinggian lebih dari 3.000 meter di atas permukaan laut. Daerahnya cantik, bergunung, berbukit, dengan lembah nan hijau. Lokasinya 163 kilometer dari Mamuju, ibu kota Sulawesi Barat, 83 kilometer dari Polewali Mandar, atau 328 kilometer dari Makassar, Sulawesi Selatan.
KOMPAS/PINGKAN ELITA DUNDU
Sejumlah pengrajin sambuk, sarung terbuat dari kain tenun khas Kabupaten Mamasa. Kain tenun ini adalah kerajinan tangan dari Kecamatan Simbuang.
Malam hari, suhu di daerah yang berpenduduk 80 orang itu ini 12-17 derajat celsius. Itu sebabnya penduduk senang membungkus tubuhnya dengan sambu, sarung asal Simbuang.
Meski Dusun Kanan menawan, transportasi ke sana sulit. Untuk mencapai kawasan itu pun hanya ada jalan kecil, berkelok, dan licin.
Di kanan-kiri jalan jurang menganga. Kompas terpaksa menyewa ojek motor Rp 120.000 untuk jarak 11 kilometer menuju Dusun Kanan.
Secara administratif, Dusun Kanan berada di Kecamatan Simbuang, Kabupaten Tana Toraja, Sulawesi Selatan. Namun, adat istiadatnya lebih banyak mendapat pengaruh kebudayaan Mamasa (dulu Toraja Barat).
Aluk Todolo adalah kepercayaan masyarakat Mamasa sebelum agama samawi masuk ke daerah itu. Aluk berarti 'aturan', todolo berarti 'nenek moyang'.
Andai warga Indonesia lainnya mau meniru kepatuhan warga Dusun Kanan, mungkin negeri ini akan menjadi lebih baik. Semua penduduk setara di mata hukum.(Ida Setyorini)

" Kemurahan Alam Tengger yang Menakjubkan "
Jarum jam menunjukkan pukul 04.15. Dari atas Gunung Pananjakan (2.774 meter di atas permukaan laut) terlihat warna kuning membias di ufuk timur. Perlahan-lahan disusul warna jingga. Semakin lama membias warna merah. Tatkala Matahari menampakkan diri, langit pun terang.
Pada saat berbarengan terjadi perubahan di kawasan Laut Pasir atau Segara Wedi. Dari semula gelap, berangsur tampak gumpalan kabut putih berarak-arak. Kabut makin tipis dan terlihatlah Gunung Bromo (berwarna perak kecoklatan).
Di sebelahnya Gunung Batok terlihat hijau dengan galur-galur vertikal. Demikian pula Pegunungan Tengger yang mengelilingi Gunung Bromo terlihat hijau, kuning sehingga kontras dengan warna Bromo yang putih perak kecoklatan.
Sekitar 90 menit eksotika kawasan itu terlihat jelas. Kemudian, datanglah kabut putih menyelimuti sebagian kawasan itu. "Anda beruntung cuaca bagus sehingga bisa melihat kawasan Bromo dengan terang," ujar Misnan, penyewa kuda di Laut Pasir.
Gunung Semeru (3.676 meter di atas permukaan laut) dengan latar depan pegunungan Tengger terlihat dari Gunung Penanjakan, Kabupaten Pasuruan, Jawa Timur, Senin (12/7). Pendakian ke Gunung Semeru saat ini tidak bisa mencapai puncak Mahameru namun hanya dibuka sampai ke Kalimati.
Javier Ginebreda (24), turis dari Barcelona, Spanyol, mengaku mendapat dua hal terindah dalam hidupnya. "Menyaksikan Spanyol menjadi pemenang Piala Dunia sama bagusnya dengan menyaksikan lanskap Bromo dan Semeru," kata Javier.
Gunung Bromo (2.392 mdpl) merupakan obyek wisata di Jawa Timur yang sudah dikenal secara internasional. Lokasinya bisa ditempuh dari empat penjuru, dari Lumajang, Malang, Pasuruan, atau Probolinggo.
Duajalur terakhir sudah lebih tertata, sedangkan jalur Lumajang dan Malang kurang didukung akses jalan dan sarana lain yang memadai.
Jalur Pasuruan bisa ditempuh dari Kota Pasuruan-Tosari-Pananjakan-Bromo sekitar 71 kilometer. Adapun dari Probolinggo-Tongas-Ngadisari-Bromo jaraknya 64 kilometer. Semua mobil pribadi harus berhenti di Tosari atau Ngadisari. Dilanjutkan ke Bromo-Pananjakan dengan wajib menyewa jip Hardtop Rp 300.000 maksimal untuk 5 orang. Jika mau sampai di Padang Savana, ditambah Rp 200.000. Taman Nasional Bromo Tengger Semeru juga menyediakan asuransi bagi turis lokal Rp 4.500 dan asing Rp 24.000.
Warga Tengger menuntun kuda yang dinaiki wisatawan, menuruni puncak Bromo di Kabupaten Probolinggo, Jawa Timur, Senin (12/7/2010). Gunung Bromo masih menjadi ikon pariwisata di Jawa Timur.
Di Tosari maupun Ngadisari tersedia hotel dengan tarif sekitar Rp 400.000 maupun home stay bertarif Rp 150.000-Rp 250.000 per kamar per malam.
Keunikan Bromo adalah Laut Pasir seluas 5.250 hektar yang hampir mengelilingi gunung tersebut. Ada banyak obyek wisata gunung berapi, seperti Gunung Kelud dan Ijen (Jawa Timur), Tangkubanparahu (Jawa Barat), Merapi (Jawa Tengah), tetapi yang memiliki hamparan laut pasir demikian hanya Bromo.
Tentu saja eksotika Bromo tidak hanya dilihat dari Pananjakan saat pagi hari. Dari titik Bromo bisa dilihat Pegunungan Tengger yang juga penuh pesona. Terlihat Gunung Batok yang memiliki galur-galur tertata rapi dan bagian atasnya datar menyerupai helipad. Puncak Gunung Semeru yang runcing sesekali menyembulkan asap.
Jika mau meluangkan waktu, bisa pergi ke Padang Savana yang berada di sisi utara Bromo, hamparan padang rumput yang luas. Saat angin bertiup, akan terlihat seperti lapisan buih yang berkejar-kejaran. Dan saat didekati, hamparan putih berubah jadi kuning karena rumput itu kering.
Di Padang Savana, sebelah-menyebelah adalah bukit yang hijau. Di sebelah kanan dari arah Bromo terlihat gundukan-gundukan bukit yang berundak-undak berwarna hijau seperti taman yang rumputnya dipangkas dengan mesin pemotong rumput. Masyarakat menyebutnya bukit Teletubbies karena bentuknya mirip dengan rumah film TV boneka Teletubbies. Segala pesona ini masih dilengkapi bunga warna-warni yang tumbuh secara alami dan kicau pelbagai macam jenis burung.
Tentu saja menaiki puncak Gunung Bromo adalah tujuan utama wisata. Tidak sulit untukmencapai puncaknya. Setelah berhenti di tempat parkir mobil di Segara Wedi, pengunjung berjalan sampai ke puncak sekitar 2,5 kilometer. Bisa juga menunggangi kuda yang disewakan Rp 50.000 sekali jalan. Kemudian naik setinggi sekitar 292 meter, termasuk lewat 249 anak tangga dengan kemiringan sekitar 60 derajat. Sesampai di puncak, pengunjung akan menyaksikan lingkaran kawah, yang dari dasarnya menyemburkan asap putih berbau belerang.

" Dari Banda, Indonesia Bermula "
 Sebanyak 21 kapal layar dari sejumlah negara berlabuh di Banda, Maluku Tengah, Selasa (27/7), dalam rangka reli kapal layar Sail Banda. Sudah lama Banda menyita perhatian dunia. Sekadar bukti, Mick Jagger, vokalis Rolling Stones, serta Lady Diana dan Sarah Ferguson pernah datang untuk memuja panorama alam setempat.
Pemandangan di depan dermaga Pelabuhan Banda Naira itu mengingatkan akan kejayaan Banda masa silam. Jauh sebelum republik ini berdiri, Banda telah menjadi surga bagi bangsa-bangsa Eropa. Kapal-kapal Portugis, Inggris, dan Belanda bergantian buang sauh di Banda Naira untuk mengenyam alam Banda yang subur dan elok itu.
Kehangatan dan aroma khas pala (Myristica fragrans) Banda yang tumbuh subur di tanah vulkanik sulit ditemukan di belahan dunia mana pun. Kala itu, biji dan fuli (bunga) pala sangat dibutuhkan sebagai bahan pengawet, penyedap, parfum, dan kosmetik.
Portugis, Inggris, dan Belanda berebut dan bergantian menguasai gugusan pulau yang terletak di tengah Laut Banda, Maluku- berjarak 116 mil (186 kilometer) dari Ambon, ibu kota Provinsi Maluku.
Kompas/Ferganata Indra Riatmoko
Banda Naira - Perahu kayu bersandar di kawasan Pelabuhan Banda Naira, Banda, Maluku, Jumat (23/7). Perahu kayu dengan tarif Rp 3.000 - Rp 5.000 per penumpang tersebut merupakan alat transportasi andalan warga kepulauan tersebut dalam mendukung berbagai aktivitas yang seringkali harus dilakukan secara antarpulau.
Des Alwi, tokoh masyarakat Banda, dalam buku Sejarah Banda Naira terbitan Pustaka Bayan (2010) mengisahkan, hasil monopoli pala yang harganya lebih mahal daripada emas kala itudigunakan Belanda untuk membangun kota Amsterdam dan Rotterdam.
Kokohnya imperialisme Belanda di Banda ditandai dengan berdirinya benteng, gedung perkantoran, istana, dan rumah- rumah bergaya Eropa. Belanda bahkan memindahkan pengasingan Hatta dan Sjahrir dari Boven Digoel, Papua, ke Banda Naira tahun 1936-1942. Tokoh pergerakan nasional lain, Dr Tjipto Mangunkusumo, dan Iwa Kusumasumantri juga diasingkan di sini.
Rumah tempat pengasingan Hatta dan Sjahrir itu kini menjadi museum. Ranjang besi dengan kelambu putih serta kursi kayu dan papan tulis tempat Hatta mengajar anak-anak tiap sore masih utuh tersimpan. Mesin tik Hatta dan gramofon milik Sjahrir masih tersimpan apik.
Di situlah Hatta dan Sjahrir menyemai nasionalisme dan rasa cinta Tanah Air kepada anak-anak Banda, termasuk kepada anak-anak warga pendatang  asal Jawa, Sumatera, Sulawesi, Ternate, Tidore, dan Kalimantan.
Des Alwi yang melewati masa kanak-kanak ketika Hatta danSjahrir diasingkan di Banda mengenang betapa kontrasnya materi pelajaran sekolah pagi yang diterima dari Belanda dengan yang dikenyam saat sore hari.
"Di sekolah pagi, para meneer mengajari kami bahwa Teuku Umar dari Aceh serta Diponegoro dari Jawa sebagai penjahat dan sejarah negeri Belanda disebut sebagai sejarah 'Tanah Air'. Sebaliknya, di sekolah sore, Hatta dan Sjahrir menyebut dua tokoh itu sebagai pemberontak atas penindasan Belanda."
Oleh Des Alwi dan anak-anak sebayanya kala itu, Hatta akrab disapa "Oom Kacamata". Adapun Sjahrir biasa disapa "Oom Rir". "Sosok Hatta itu serius, kutu buku, dan lengket dengan kacamata tebal. Kalau Sjahrir, suka gaul dan suka nyanyi," ujarnya.

" Kerinci, Sekepal Tanah Surga yang Terabaikan "
Kerinci, di perbatasan Jambi dan Sumatera Barat, bisa dibilang surga dunia wisata. Kawasan ini tak saja memiliki banyak pesona alam dan budaya, tetapi semuanya hadir bersama: gunung, danau, air terjun, kebun teh, hutan taman nasional, peninggalan bersejarah, dan seni tradisional.
Kompas/Hendra A Setyawan
Pesona Danau Gunung Tujuh yang terletak pada ketinggian 1.950 mdpl di Kabupaten Kerinci, Jambi, Sabtu (1/5). Danau Gunung Tujuh merupakan danau tertinggi di Asia Tenggara.
Mari kita daki Bukit Kayangan, satu kawasan puncak di Sungai Penuh, pusat kota kabupaten yang telah dimekarkan dan berjarak 10 kilometer dari pusat kota.
Memandang ke arah barat, pepohonan rimbun memenuhi gugusan Bukit Barisan. Berpaling ke timur, Kota Sungai Penuh terhampar di sebuah lembah bepermukiman padat. Tampak pula Danau Kerinci denganairnya yang kebiruan.
Di puncak bukit itu kita bisa merasakan udara dingin yang segar. Kabut dengan cepat menyelimuti seluruh pemandangan. Bak berada dalam dunia mimpi. "Bukit ini jadi favorit wisatawan yang ingin menikmati seluruh kawasan Kerinci dari kejauhan," papar Sofa, warga Sungai Penuh, awal Mei lalu.
Turun dari Bukit Kayangan, kita bisa menuju Kayu Aro, sentra pertanian hortikultura dan perkebunan teh di kaki Gunung Kerinci.
Hamparan kebun teh tua membentuk petak-petak seperti motif beludru. Tak hanya menawan, kebun ini juga punya banyak keunikan.
Didirikan Belanda tahun 1928, Kebun Teh Kajoe Aromenjadi satu hamparan teh terluas di dunia, 2.624 hektar, yang mencakup 29 desa. "Teh Kajoe Aro menjadi langganan para bangsawan di Eropa," kata Saiful Kholik Tanjung, Asisten Kepala Perkebunan Teh PTPN VI di Kayu Aro.
Di atas beludru hijau itu, Gunung Kerinci terlihat gagah. Menjulang setinggi 3.805 meter di atas permukaan laut. Ini adalah gunung vulkanik tertinggi di Sumatera. Tak jauh dari kawasan ini terdapat Danau Gunung Tujuh pada ketinggian 1.950 meter di atas permukaan laut, sebagai danau vulkanik tertinggi di Asia Tenggara.


 "Aruh Ganal", Menghormati Kemurahan Alam Ala Dayak Meratus "
 Malam kian larut, tetapi belasan balian laki-laki dipimpin pengulu adat terus menari. Diiringi suara gendang dari kulit binatang, "trong tung tung, trong tung tung tung..." mereka tak henti melafalkan mantra sambil mengelilingi ancak tempat sesaji.
Prosesi di dalam balai adat ini dilakukan semalam suntuk, dimulai sekitar pukul 22.00 dan baru selesai pukul 09.00 keesokan harinya.
Tak tampak gurat lelah di raut muka para balian atau tokoh spiritual penganut Kaharingan (kepercayaan asli masyarakat Dayak di Kalimantan), yang sebagian di antaranya sudah berusia lanjut itu.
Dengan pakaian seadanya, ditambah ikat kepala atau topi, serta sarung sebatas lutut, mereka terus menggoyang-goyangkan untaian bunga dan janur (ringgitan) yang pangkalnya mereka genggam dengan tangan kanan.
Langkah kaki mereka pendek-pendek. Matanya sesekali terpejam dan sesekali melihat pada warga yang hadir dan duduk mengelilingi ancak sesaji (langgatan), sedangkan kepalanya bergoyang-goyang mengikuti lafal mantra yang mereka ucapkan dengan nada agak keras itu.
Saat mengelilingi langgatan yang dihias janur pohon enau, para balian dan pengulu (penghulu) adat itu menyempatkan diri menghampiri para penabuh gendang (panjulang) yang duduk di sekitar tempat sesajian.
Kompas/M Syaifullah
Sejumlah balian (berdiri) nampak mengelilingi ancak sesaji yang berada di tengah-tengah balai adat masyarakat Dayak Bukit di Kampung Tanginau, Desa Tumingki, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimatan Selatan, Sabtu (17/7). Masyarakat setempat tengah mengadakan upacara aruh ganal atau ritual sebagai wujud syukur atas panenan yang telah berhasil.
Kepada para panjulang, yang ternyata adalah istri mereka, para balian dan pengulu itu mengatakan sesuatu yang hanya diketahui oleh mereka berdua. Kata-kata yang diucapkan sulit dimengerti karena menggunakan bahasa Dayak Belian, dan diucapkan dengan cara dilantunkan mirip orang berpantun.
Apa yang disampaikan itu kemudian ditimpali oleh para panjulang. Kegiatan ini dilakukan sambil menari dan berulang hingga hari berganti terang.
Sementara itu, ratusan warga yang telah memadati balai adat sejak sore terus memerhatikan prosesi itu. Sebelumnya, sesaat setelah prosesi dimulai, sebagian dari mereka telah meletakkan hasil panen berupa gabah ke atas langgatan. Gabah itu adalah padi yang terakhir dipanen.
Hasil panen lain yang disertakan dalam upacara adalah lemang-yang sekaligus jadi perlengkapan sesaji. Lemang yang masih dalam batang bambu ini sempat pula dipakai untuk menari, diangkat, dan digoyang-goyangkan.
Lemang adalah sejenis lemper, memasaknya dengan memasukkan beras ketan ke dalam potongan bambu, kemudian bambu dibakar menggunakan kayu.
Pada malam tersebut, memang menjadi waktu yang ditunggu-tunggu oleh segenap masyarakat Dayak Bukit yang mendiami Kampung Tanginau, Desa Tumingki, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimatan Selatan, atau sekitar 150 kilometer arah utara Kota Banjarmasin. Mereka merayakan upacara adat aruh ganal.
Aruh ganal adalah upacara pada puncak musim panen. Aruh berarti kenduri. Ganal berarti besar. Aruh ganal artinya kenduri besar.
Kompas/M Syaifullah
Seorang pengulu adat nampak tengah memimpin pernikahan warga Dayak Bukit di Kampung Tanginau, Desa Tumingki, Kecamatan Loksado, Kabupaten Hulu Sungai Selatan, Kalimatan Selatan, Minggu (18/7). Pernikahan yang berlangsung di balai adat setempat itu dilangsungkan di sela-sela upacara aruh ganal atau ritual sebagai wujud syukur atas panenan yang telah berhasil.
Bagi masyarakat Tanginau yang mendiami Pegunungan Meratus, aruh dua pekan lalu itu adalah yang terbesar dalam beberapa tahun terakhir,  antara lain karena dilaksanakan selama enam hari enam malam.
Yang menarik, aruh ganal kali ini juga dimanfaatkan warga untuk menikah. Pernikahan itu dilakukan secara sederhana dan singkat. Malam hari, sebelum aruh ganal dimulai, kedua pihak mempelai tawar-menawar uang mahar (jujuran). Saat itu pihak perempuan meminta nilai mahar Rp 19 juta, dan bisa ditawar Rp 11,1 juta. Siang hari, setelah prosesi aruh malam pertama, dilakukanlah upacara pernikahan dan dipimpin pengulu adat.
Melalui aruh ganal, masyarakat bermaksud mengucapkan syukur kepada Yang Maha Kuasa atas hajat berupa hasil panen yang melimpah.
Menurut pengulu adat, Amban, aruh ganal juga menjadi media untuk memohon keselamatan bagi semua warga kampung. Mereka memuja kepada Sang Hyang Widi, Batara, dan Datuk atau leluhur agar mendapatkan berkah, rezeki, dan panjang umur. Orang Dayak tak akan mengonsumsi hasil panen sebelum ritual dilaksanakan.
Pertanian mereka pun ternyata melampaui zaman, go green, karena ramah lingkungan: tanpa obat penyubur, tanpa obat hama, dan nonkimiawi. Kuncinya satu, pilihlah lahan tanam terbaik.
Berladang atau berhuma (bahuma) adalah kegiatan utama warga Dayak Meratus. Bahuma sekaligus laku spiritual, dan puncak religi mereka adalah upacara aruh ganal tadi.
Aruh ganal di Meratus tidak hanya dilaksanakan oleh mereka yang mendiami kampung Tanginau, tetapi juga kampung dan desa lain, seperti Haratai, Batung, Harakit, Balawaian, dan Mancubung. Dalam setahun biasanya dilakukan tiga kali aruh.
Semua pendatang disambut warga setempat dengan sukacita. Penghuni balai adat sengaja menyiapkan minuman dan kudapan gratis sepanjang malam. Namun, cuma warga yang datang sebelum aruh yang bisa bermalam dan menetap di balai.
Di akhir acara, warga yang panen memberikan sebagian berasnya untuk tetamu.
Aruh ganal ternyata tak hanya sebentuk tradisi menyayangi dan menghormati alam, tetapi juga berbagi kasih dengan sesama, meski semula mereka tak saling kenal.


" Uma, Identitas Mentawai yang Terancam "

Gadjai Saruru (57) dan Kalianus Saruru (35) beberapa kali tercenung saat bercerita tentang uma di Dusun Ugai, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, Sumatera Barat, pertengahan Maret lalu. Pasangan bapak-anak itu mengungkapkan kegetiran mereka mempertahankan tradisi nenek moyang dalam membuat uma.
Uma atau rumah besar memanjang dengan arsitektur panggung yang ditinggali hingga beberapa keluarga dalam satu suku adalah inti kehidupan masyarakat tradisional Mentawai. Pada uma inilah kebudayaan masyarakat adat Mentawai berpusar, melibatkan Sikerei (pemimpin seluruh upacara punen/adat) sebagai tokoh sentral, di samping tokoh Sikebbukat Uma-sesepuh masyarakat adat.
Penghuni uma adalah garis keturunan ayah (patrilineal). Kaum perempuan atau istri berasal dari uma yang lain, yang statusnya akan masuk ke dalam uma milik suami setelah menikah, tetapi harus kembali ke uma asal bila menjadi janda.
Pada uma pula ditemukan mitologi masyarakat adat Mentawai yang menjelaskan lelaku mereka sehari-hari. Kearifan lokal tentang bagaimana mencari tempat berlindung saat gempa terjadi dan rangkaian setelahnya; berupa tanda-tanda alam yang dipakai untuk menentukan siklus pertanian dan segala hal berhubungan dengan kehidupan. Namun, kini, mendirikan atau memperbaiki uma adalah satu kemewahan yang sulit dijangkau.
Dusun Ugai-yang bisa dicapai dalam waktu 4-5 jam perjalanan bersampan mesin dari Desa Muara Siberut, pusat keramaian dan ibu kota Kecamatan Siberut Selatan-memiliki 18 suku yang terbagi dalam 178 keluarga dan mendiami sekitar 160 uma. Dari Kota Padang, Siberut Selatan bisa dicapai 12 jam perjalanan kapal.
Kondisi sebagian uma di dusun itu sekarang mengkhawatirkan. Kayu-kayunya lapuk, atap rumbia bolong-bolong tergerogoti usia.
Bangunan uma biasanya terdiri atas lima jenis kayu, yaitu meranti putih, gaharu, pohon enau, bambu, rotan. Adapun atap rumbia dan kayu ribuh sebagai tiang-tiang penopang utama.
Selain itu, uma butuh pula bambu, rotan, batang pohon enau, gaharu, dan kayu ribuh sebagai tonggak-tonggak utama.
Jumlah batang-batang kayu ribuh yang menjadi inti dalam setiap bangunan uma akan sangat bergantung dari besar atau kecilnya uma. Tiang-tiang pancang utama inilah yang menjadi muasal didirikannya uma dan berkaitan dengan legenda setempat soal dewa gempa yang disebut sebagai Teteu Ka Baga dan dalam versi lain disebut sebagai Sigegegeu.
Legenda ini berkaitan dengan ritual pengorbanan dalam setiap pendirian uma yang berkaitan dengan mitologi masyarakat setempat tentang keberadaan dewa gempa. Kalianus mengatakan, zaman dulu sekali bahkan harus ada tengkorak manusia yang diperoleh sebelum uma didirikan untuk dipajang. Kini, syarat tengkorak manusia diganti tujuh ekor monyet yang diambil tengkoraknya dan dipajang di dalam uma. Korban itu dilatarbelakangi mitos tentang dewa gempa dalam pembangunan uma.
Teu Tade, salah seorang Sikerei di Dusun Ugai, Desa Madobag, Kecamatan Siberut Selatan, Kabupaten Kepulauan Mentawai, mengatakan, cerita rakyat yang diberi nama Sigegegeu itu diawali dengan dua anak yatim piatu.
Anak pertama adalah perempuan yang memiliki seorang adik laki-laki berumur sekitar tujuh tahun yang dipelihara oleh orangtua angkat mereka. Pada suatu hari, orangtua angkat kedua bocah itu hendak membangun sebuah uma besar dan meminta anak laki-laki angkat mereka untuk masuk ke dalam lubang galian. Saat anak laki-laki itu di dalam lubang galian, sebuah tonggak kayu besar tiba-tiba ditancapkan kepadanya. Namun, secara gaib anak laki-laki ini berhasil melompat ke ujung tonggak kayu di atas.


" Kaimana, Eksotisme Alam Bahari "

Kan ku ingat selalu/ Kan kukenang selalu/ Senja indah/ Senja di Kaimana/Seiring surya/ Meredupkan sinar/ Dikau datang/ Ke hati berdebar..   
Bukan tanpa alasan jika tahun 1960-an Alfian meromantiskan panorama Kaimana seperti penggalan lagu di atas. Keindahan alam bahari di bagian selatan Provinsi Papua Barat itu memang tak terbantahkan.
Keeksotisan Kaimana terbentang dari Pulau Venu di barat daya Kaimana hingga Teluk Triton di tenggara Kaimana.
Kaimana didiami komunitas yang beragam. Pendatang asal Pulau Jawa, Buton, Seram, dan peranakan China hidup rukun dengan warga asli yang terdiri atas delapan suku, yakni Mairasi, Koiwai, Irarutu, Madewana, Miereh, Kuripasai, Oboran, dan Kuri.
Kaimana yang luasnya 18.500 kilometer persegi dan didiami 42.488 jiwa penduduk menjanjikan beragam obyek wisata, yakni wisata alam, budaya, dansejarah.
Bagi yang gemar menyelam, Selat Namatota dan Selat Iris di selatan Teluk Triton siap menyambut dengan segala pesona keindahan alam bawah laut. Di kedalaman 30 meter dari permukaan laut, Anda bisa menjelajah keasrian terumbu karang dan bercengkerama dengan aneka jenis satwa laut.
Conservation International Indonesia (CII) mencatat populasi ikan di daerah ini mencapai 228 ton per kilometer persegi, tertinggi di Asia Tenggara.
"Keindahan ikan flasher (Paracellinus nursalim), yang berukuran mungil dan berwarna-warni, bisa dilihat saat menyelam di Kaimana," kata Andi Yasser Fauzan, Marine Conservation and Science Specialist CII di Kaimana.
Bagi yang tak menyelam, pantai berpasir putih, yang dinaungi pohon kelapa di sela tebing-tebing cadas di Selat Namatota, bisa meneduhkan pikiran.
Di daerah Faranggara dan Miwara di Teluk Triton, kitadisuguhi pemandangan berupa hamparan laut dihiasi pulau-pulau kecil bertebing pipih tertutup pepohonan lebat. Burung endemik, seperti masariku berwarna putih dan burung rangkong warna-warni yang terbang bebas, menyuguhkan hiburan tersendiri.

Saat cuaca baik dan laut tenang, paus bryde dan lumba-lumba akan muncul di Selat Namatota. Jika beruntung, bisa terlihat ikan mangiwang (Hemiscyllium henryi) yang bernama lokal hiu bodoh karena berjalan dengan sirip. Ikan itu tidak diburu sehingga kerap ditemui berenang dekat perahu nelayan.
Kompas/Arum Tresnaningtyas
Senja di Kaimana - Pemandangan senja menjadi daya tarik Kaimana, Papua Barat, Jumat(18/6).Kaimana juga memiliki potensi perikanan yang melimpah. Pada tahun 2006 Kaimana tercatat memiliki biomasa ikan tertinggi di Asia Tenggara.
Bagi peminat sejarah, ada aneka ragam lukisan manusia prasejarah di tebing-tebing cadas di Selat Namatota. Gambar wajah, matahari, dan cap telapak tangan merupakan bagian dari ribuan lukisan yang terukir di ceruk-ceruk cadas sepanjang 1 kilometer.
Gambar-gambar itu diperkirakan dibuat oleh manusia Austronesia sekitar 3.500 tahun silam saat mereka bermigrasi dari Taiwan ke Filipina, Sulawesi, Maluku, hingga Papua.
Di Desa Lobo, Teluk Triton, Distrik Kaimana, ada tugu "Fort du Bus" yang menandai benteng dan pos administrasi Hindia Belanda yang bernama Fort du Bus yang dibangun pada 1828.
Benteng ini ditinggalkan tahun 1835 saat wabah malaria membunuh sebagian besar tentara Belanda.
Kompas/Arum Tresnaningtyas Dayuputri
Landscape kota Kaimana U/ ..Esai Kaimana
Adapun Pulau Venu menjadi tempat penyu bertelur, baik itu jenis penyu hijau (Chelonia mydas), penyu sisik (Eretmochelys imbricata), maupun penyu belimbing (Dermochelys coriacea).
Sayangnya, untuk menikmati Kaimana perlu dana tak sedikit. Untuk menjelajah Teluk Triton yang bisa ditempuh sekitar 1,5 jam dari Pelabuhan Kaimana, wisatawan harus menyewa long boat milik nelayan dengan biaya minimal Rp 2,5 juta. Dana lebih besar dibutuhkan untuk ke Pulau Venu yang waktu tempuhnya lima jam.

Harga tiket dari Ambon ke Kaimana Rp 1,6 juta. Kalau dari Makassar, tiketnya Rp 2,5 juta.
Sarana pendukung wisata juga masih minim. Penginapan hanya ada empat buah dan peralatan selam harus bawa sendiri.
"Kami masih memetakan obyek wisata serta sarana dan prasarana yang dibutuhkan. Kantor pariwisata baru tiga bulan berdiri," kata Kepala Kantor Kebudayaan dan Pariwisata Kaimana Donesius Murmana.
Namun, turis-turis asing telah berdatangan. "Umumnya, pada September sampai Maret saat lautan teduh," kata Pelaksana Harian Kantor Pelabuhan Kaimana Thimus M Solossa.
Pemerintah perlu bahu-membahu dengan investor swasta untuk segera membenahi sarana dan prasarana wisata sebelum pesona Kaimana dan minat wisatawan keburu pudar.


" Raja Ampat, Metamorfosa "Indonesia Mini "

Jangan mengaku penikmat bawah laut sejati bila belum ke Raja Ampat yang merupakan pusat segitiga karang dunia (poros Filipina, Malaysia, Papua Niugini, Timor Leste, dan Australia). Jadi kalau belum, sebaiknya memasukkan Pantai Waisai Tercinta, Kabupaten Raja Ampat, Provinsi Papua Barat ke dalam daftar tempat yang harus dikunjungi.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Masyarakat Distrik Wamarbomi memperagakan kehidupan mereka saat berangkat berburu ikan, Senin (3/5) di Pantai Waisai Tercinta (WTC) Raja Ampat, untuk memeriahkan Festival Raja Ampat 2010. Mereka mengangkap ikan dengan menggunakan kalawai atau tombak serta jebakan bubu sebelum ada pancing/jala.
Pesona alam dan keragaman budaya di daerah kepala burung Papua ibarat sebuah "mahkota", yang membuat Raja Ampat mampu "menyihir" dunia dengan keelokan alam tiada tara. Daerah yang terdiri dari empat pulau besar atau Raja Ampat persisnya adalah wilayah Waigeo, Batanta, Salawati, dan Misool.
Tokoh adat Mner Wawarbomi, Enos Rumbarar, menjelaskan, asal-muasal terjadinya Raja Ampat melekat dalam cerita rakyat setempat. Pada suatu waktu, di Teluk Kabui terdapat sepasang suami-istri pergi ke hutan mencari makanan. Saat tiba di Sungai Waikeo, para peladang itu menemukan enam butir telur naga. Telur ditempatkan dalam noken (tas perempuan dari anyaman akar-akaran) dan suatu malam mereka mendapati lima telur di antaranya telah menetas. Dari semuanya keluar bayi berpakaian halus. Telur itu menetas menjadi empat laki-laki dan seorang perempuan. Melalui pakaiannya yang halus, diketahuikelimanya adalah keturunan raja. Empat anak lelaki itu diberi nama War (menjadi Raja di Waigeo), Betani (menjadi raja di Salawati), Dohar (menjadi raja di Batanta atau Lilinta), dan Mohamad (menjadi raja di Misool atau Waigama), serta anak perempuan diberi nama Pintolee.
Untuk mencapai kawasan Raja Ampat, sekarang ini relatif mudah. Sebab, saban hari, pukul 14.00, tersedia kapal cepat (Marina Express) dan feri yang melayani penumpang dari Sorong ke Waisai, ibu kota Kabupaten Raja Ampat dengan waktu tempuh 2,5 jam. Sementara perjalanan udara dari Jakarta ke Sorong dapat ditempuh dengan pesawat Express Air, Batavia Air, Lion Air, atau Merpati selama sekitar lima jam. Adapun dengan kapal Pelni, jarak Jakarta-Sorong bisa ditempuh dalam tiga hari.
KOMPAS/ICHWAN SUSANTO
Para penari dari Salawati Utara memperagakan tari Wor, Senin (3/5) di Pantai Waisai Tercinta (WTC) Raja Ampat, untuk memeriahkan Festival Raja Ampat 2010. Pada zaman nenek moyang mereka, tari Wor dipakai dipakai untuk memutuskan apakah akan melakukan perang atau tidak. Namun kini, tarian ini digunakan untuk pemberi semangat bagi pembangunan setempat.
Menurut catatan lembaga swadaya masyarakat Conservation International Indonesia, perairan Raja Ampat adalah tempat berlindung gugusan terumbu karang di Indonesia.
Bagi para penyelam, di sinilah ikan manta-ray berukuran lebar lebih dari dua meter bisa dilihat dari dekat. Juga mamalia paus sepanjang empat meter. Pesona itulah yang menarik minat turis dari Amerika, Eropa, dan Asia.
Raja Ampat pantas dijuluki Kabupaten Bahari. Maklum, dari sekitar 46.000 kilometer persegi total luas wilayahnya, 80 persen berupa lautan. Namun, hal ini menjadi dilematis. Di satu sisi, daerah ini sedang giat-giatnya membangun. Sementara sebagian besar area perairan telah disepakati menjadi kawasan konservasi laut daerah.
Dengan luas daratan terbatas dan dilindungi undang-undang kehutanan, situasi ini diakui Bupati Raja Ampat Marcus Wanma sebagai hal yang menyulitkan. "Waisai yang kami tempati ini sebelum pemekaran adalah hutan belantara yang masuk cagar alam, tetapi dibuka karena kebutuhan daerah," ucapnya.
Selain menyimpan pemandangan bawah laut yang tersohor, perut bumi Raja Ampat juga memendam sumber daya mineral nikel dan krom yang sangat tinggi. Berdasarkan Atlas Sumber Daya Wilayah Pesisir Raja Ampat (2006), kandungan nikel itu tersebar di Pulau Gebe, Kawe, Gag, Batangpele, Manyaifun, Nawan, dan Waigeo Utara, serta Selatan Teluk Mayalibit.
Menurut Dinas Pertambangan dan Energi Raja Ampat tahun 2008, pihaknya mencatat di daerah ini terdapat 16 perusahaan tambang dalam tahap eksplorasi, eksploitasi, dan penyusunan analisis mengenai dampak lingkungan. Bahkan, menurut pihak Pangkalan TNI AL Sorong, dalam tahun 2008 sudah tujuh kali daerah itu mengekspor bahan galian nikel ke China, tiap kali pengapalan berbobot 35.000 ton.
Namun Raja Ampat harus bijaksana dalam memanfaatkan kekayaan tambangnya agar kemilau alamnya tidak pudar. Apalagi Raja Ampat, yang merupakan pusat karang dunia. Kalau karang mati, tidak ada lagi kehidupan di laut.

Sumber : Kompas.com

Tidak ada komentar:

Posting Komentar