Sabtu, 17 November 2012

ETCHICAL GOVERNANCE

1.    Governance system

Istilah sistem pemerintahan merupakan kombinasi dari dua kata, yaitu: "sistem" dan "pemerintah".Berarti sistem secara keseluruhan yang terdiri dari beberapa bagian yang memiliki hubungan fungsional antara bagian-bagian dan hubungan fungsional dari keseluruhan, sehingga hubungan ini menciptakan ketergantungan antara bagian-bagian yang terjadi jika satu bagian tidak bekerja dengan baik akan mempengaruhi keseluruhan. Dan pemerintahan dalam arti luas memiliki pemahaman bahwa segala sesuatu yang dilakukan dalam menjalankan kesejahteraan negara dan kepentingan negara itu sendiri. Dari pengertian itu, secara harfiah berarti sistem pemerintahan sebagai bentuk hubungan antar lembaga negara dalam melaksanakan kekuasaan negara untuk kepentingan negara itu sendiri dalam rangka mewujudkan kesejahteraan rakyatnya.
Menurut Moh. Mahfud MD, adalah pemerintah negara bagian sistem dan mekanisme kerja koordinasi atau hubungan antara tiga cabang kekuasaan yang legislatif, eksekutif dan yudikatif (Moh. Mahfud MD, 2001: 74). Dengan demikian, dapat disimpulkan sistem adalah sistem pemerintahan negara dan administrasi hubungan antara lembaga negara dalam rangka administrasi negara.



Ada beberapa sistem pemerintahan diadopsi oleh negara-negara di dunia, seperti sistem yang sering bersama oleh negara demokrasi adalah sistem dari sistem presiden dan parlemen. Dalam studi ilmu sains dan politik itu sendiri mengakui keberadaan tiga sistem pemerintahan: Presiden, Parlemen, dan referendum.Presiden
Dalam sistem presidensial secara umum dapat disimpulkan memiliki karakteristik sebagai berikut:
1. Kepala Negara dan Kepala Pemerintahan (eksekutif).
2. Pemerintah tidak bertanggung jawab kepada parlemen (DPR). Pemerintah dan parlemen memiliki status yang sama.
3. Eksekutif dan Legislatif sama-sama kuat.
4. Diangkat menteri dan bertanggung jawab kepada Presiden.
5. Jabatan Presiden dan Wakil Presiden, seperti 5 tahun.


b) Sistem Parlemen
Sementara sistem parlementer prinsip-prinsip atau karakteristik adalah sebagai berikut:

1. Kepala negara tidak terletak sebagai kepala pemerintahan karena ia lebih merupakan simbol nasional.
2. Pemerintah dilakukan oleh Kabinet yang dipimpin oleh perdana menteri.
3. Posisi eksekutif lebih lemah dari parlemen.
4. Kabinet bertanggung jawab kepada Parlemen, dan dapat dipaksakan melalui voting parlemen.

Untuk mengatasi kelemahan sistem parlementer yang tampak up mudah dan surut, Kabinet dapat meminta Kepala Negara untuk membubarkan parlemen (DPR) dengan alasan yang sangat kuat yang tidak dianggap mewakili parlemen.

c) Sistem referendum
Dalam sistem referendum badan eksekutif adalah bagian dari legislatif. Lembaga eksekutif yang merupakan bagian dari badan legislatif adalah badan legislatif pekerja. Sistem ini berarti bahwa badan legislatif untuk membentuk sebuah sub di dalamnya sebagai tugas pemerintah. Pengendalian legislatif dalam sistem ini dilakukan langsung oleh rakyat melalui lembaga referendum.
Legislator dalam sistem ditentukan langsung oleh rakyat melalui dua mekanisme, yaitu:

1. Obligatoir referendum, yang menyetujui referendum untuk menentukan apakah atau tidak oleh orang-orang tentang keabsahan peraturan atau hukum ke yang baru. Referendum ini adalah referendum wajib.
2. Fakultatif referendum, referendum untuk menentukan apakah suatu peraturan atau hukum yang ada untuk terus menerapkan tetap atau harus dicabut. Ini adalah referendum Referundum tidak wajib.
3. Dalam prakteknya sistem ini sering digunakan oleh negara-negara adalah sistem presidensial atau sistem parlementer. Seperti dengan Indonesia, yang telah menerapkan dua sistem.

Sebelum perubahan 1945 mengadopsi sistem Usia presiden, tetapi penerapannya tidak murni atau bisa mengatakan "kuasi-presiden". Menginggat presiden adalah sebagai konsekuensi amanat Majelis bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (parlemen), tetapi Setelah perubahan 1945 di Indonesia menganut pemerintahan murni presiden karena presiden tidak lagi bertanggung jawab kepada Majelis Permusyawaratan Rakyat (parlemen).
2.     . Budaya Birokrasi (Pengahapusan Klaim Masyarakat)
Sebagaimana yang di gambarkan sebelumnya bahwa budaya birokrasi yang selama ini di dengar adalah budaya lamban, prosedural, KKN, dan selalu mementingkan kepentingan pribadi menjadi sebuah masalah besar yang harus dicari jalan keluarnya, karena ini juga merupakan sesuatu yang penting dimana budaya sangat mempengaruhi akan kinerja serta budaya juga sangat menentukan posisi, posisi yang penulis maksudkan bukan sebagai jabatan teknis atau fungsionalis, tetapi posisi disini terkait dengan sampai dimana para birokrat memainkan kewenangan yang dimiliki dan juga bagaimana memanfaatkan kewenangan itu bukan untuk kepentingan pribadi dan juga kelompok tetapi tiadk lain hanyalah untuk kepentingan masyarakat.
Mungkin disini penulis tidak lagi mendefenisikan budaya secara kompleks tetapi secara tidak langsung penulis berkeinginan menghapus budaya selama ini yang didefenisikan oleh para birokrat, bahkan Max Weber dalam tulisannya Sofyan Efendi sendiri menggambarkan tentang bagaimana budaya birokrat yang kurang memperhaan faktor lingkungan birokrasi pemerintahan negara kurang memiliki perhatian terhadap perubahan lingkungan karena, secara konseptual ketika Max Weber, sarjana sosiologi Jerman merumuskan konsep birkrasi kira-kira 140 tahun yang lalu, organisasi birokratis diasumsikan sebagai bentu organsasi yang cocok untuk lingkungan yang stabil dan untuk menjalankan tugas-tugas yang bersifat passif tetapi redundant. Dengan demikian bentuk dan budaya organisasi harus berubah bila tugas organisasi dan lingkungannya berubah.
Etika Birokrasi (Antara Perorangan dan Organisasi)
Sebelujauh menjelaskan bagaimana etika yang menurut penulis selama ini dipahami oleh birokrat adalah paradigma yang berlaku sebelumnya dalam administrasi, yaitu etika sebagai aturan (ethics as rules), yang dicerminkan dalam struktur organisasi dan fungsi-fungsi serta prosedur, termasuk di dalamnya sistem insentif dan disinsentif dan sanksi-sanksi berdasarkan aturan. Bagi penulis bahwa pemerintah serta birokrat memang membutuhkan etika dalam hal untuk membentuk kewibawaan dalam hal menjalankan tugas dan kewenangan mereka. Tetapi yang digambarkan pada orde sedeblumnya bukannya kewibawaan yang menjadikan pemerintah disegani tetapi kewibawaan ini malah memunculkan ketakutan dalam masyarakat itu sendiri. Ketakutan ini muncul karena pemerintah menggunakan etika sebagai sesuatu yang tidak bias dilanggar meskipun kepentingan rakyat terabaikan, mungkin diskresi juga menjadi sesuatu yang patut dibicarakan tetapi diskresi disini digunakanhanya sebagai langkah untuk memenuhi kebutuhannya sehingga ini semakin mempersulit untuk melayani masyarakat.
http://birokrasi.kompasiana.com/2012/07/27/budaya-etika-dan-akuntabilitas-birokrasi-suatu-upaya-pengembalian-kepercayaan-masyarakat/
3.      Mengmbangkan struktur etika korporasi
Semangat untuk mewujudkan Good Corporate Governance memang telah dimulai di Indonesia, baik di kalangan akademisi maupun praktisi baik di sektor swasta maupun pemerintah. Berbagai perangkat pendukung terbentuknya suatu organisasi yang memiliki tata kelola yang baik sudah di stimulasi oleh Pemerintah melalui UU Perseroan, UU Perbankan, UU Pasar Modal, Standar Akuntansi, Komite Pemantau Persaingan Usaha, Komite Corporate Governance, dan sebagainya yang pada prinsipnya adalah membuat suatu aturan agar tujuan perusahaan dapat dicapai melalui suatu mekanisme tata kelola secara baik oleh jajaran dewan komisaris, dewan direksi dan tim manajemennya. Pembentukan beberapa perangkat struktural perusahaan seperti komisaris independen, komite audit, komite remunerasi, komite risiko, dan sekretaris perusahaan adalah langkah yang tepat untuk meningkatkan efektivitas “Board Governance”. Dengan adanya kewajiban perusahaan untuk membentuk komite audit, maka dewan komisaris dapat secara maksimal melakukan pengendalian dan pengarahan kepada dewan direksi untuk bekerja sesuai dengan tujuan organisasi. Sementara itu, sekretaris perusahaan merupakan struktur pembantu dewan direksi untuk menyikapi berbagai tuntutan atau harapan dari berbagai pihak eksternal perusahaan seperti investor agar supaya pencapaian tujuan perusahaan tidak terganggu baik dalam perspektif waktu pencapaian tujuan ataupun kualitas target yang ingin dicapai. Meskipun belum maksimal, Uji Kelayakan dan Kemampuan (fit and proper test) yang dilakukan oleh pemerintah untuk memilih top pimpinan suatu perusahaan BUMN adalah bagian yang tak terpisahkan dari kebutuhan untuk membangun “Board Governance” yang baik sehingga implementasi Good Corporate Governance akan menjadi lebih mudah dan cepat.
4.      Kode perilaku korporasi ( corporate code offconduct )
Code of Conduct adalah pedoman internal perusahaan yang berisikan Sistem Nilai, Etika Bisnis,Etika Kerja, Komitmen, serta penegakan terhadap peraturan-peraturan perusahaan bagi individu dalam menjalankan bisnis, dan aktivitas lainnya sertaberinteraksi dengan stakeholders. Menyempurnakan pedoman bagi seluruh pelaku.
bisnis di perusahaan untuk berperilaku yang baik dalam melaksanakan aktivitas perusahaan dan sebagai pedoman dalam menentukan sikap pada
saat menghadapi keadaan yang dilematis. Sebagai komitmen bersama untuk mewujudkan Visi dan melaksanakan Misi perusahaan secara profesional dan beretika dengan memperhatikan seluruh stakeholders, sehingga pada akhirnya akan terwujud standar kerja yang maksimal bagi seluruh individu dan dengan tetap berpedomankepada aturan yang berlaku bagi perusahaan.
5.      Evaluasi terhadap kode perilaku korporasi
v  Pelaporan Pelanggaran Code of Conduct
1. Setiap individu berkewajiban melaporkan setiap pelanggaran atas Code of Conduct yang dilakukan individu lain dengan bukti yang cukupkepadaDewanKehormatan.Laporan dari pihakluar wajib diterima sepanjang didukung bukti danidentitas yang jelas dari pelapor.
2. Dewan Kehormatan wajib mencatat setiap laporan pelanggaran pedoman peri laku
perusahaan dan melaporkannya kepada Direksi dengan didukung oleh bukti yang cukup dan dapat dipertanggungjawabkan.
3. Dewan Kehormatan waj ib memberikanperlindungan terhadap pelapor.

v  Sanksi Atas Pelanggaran Code of Conduct
1. Pemberian sanksi atas pelanggaran Code of Conduct yang dilakukan oleh karyawan diberikan oleh Direksi atau pejabat yang berwenang sesuai ketentuan yang berlaku.
2. Pemberian sanksi atas pelanggaran yang dilakukan oleh Direksi dan Dewan Komisaris mengacu sepenuhnya pada Anggaran Dasar dan Anggaran Rumah Tangga Perusahaan serta ketentuan yang berlaku.
3. Pemberian sanksi dilakukan setelah ditemukan bukti nyata terhadap terjadinya pelanggaran pedoman ini.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar